NetizenInfo
Didik Yulianto Al-Paresi fun daily activities, Coretan ini aku persembahkan untuk tunas-tunas muda yang pada saatnya akan tampil sebagai PENYERU dan akan mempengaruhi dunia dalam hal KEBAIKAN dan KEDAMAIAN
Kamis, 31 Desember 2015
JAM GADANG
Batas siang dan malam di bukit tinggi Jam Gandang
Jam Gadang adalah landmark kota
Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas
Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang
sudah puluhan tahun. Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek
Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan
putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini
merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota).
Simbol khas Bukittinggi dan Sumatera
Barat ini memiliki cerita dan keunikan dalam perjalanan sejarahnya. Hal
tersebut dapat ditelusuri dari ornamen pada Jam Gadang. Pada masa
penjajahan Belanda, ornamen jam ini berbentuk bulat dan di atasnya
berdiri patung ayam jantan. Namun saat Belanda kalah dan terjadi
pergantian kolonialis di Indonesia kepada Jepang, bagian atas tersebut
diganti dengan bentuk klenteng. Lebih jauh lagi ketika masa kemerdekaan,
bagian atas klenteng diturunkan diganti gaya atap bagonjong rumah adat
Minangkabau.
Dari menara Jam Gadang, para wisatawan
bisa melihat panorama kota Bukittinggi yang terdiri dari bukit, lembah
dan bangunan berjejer di tengah kota yang sayang untuk dilewatkan.
Saat dibangun biaya seluruhnya mencapai 3.000 Gulden dengan penyesuaian dan renovasi dari waktu ke waktu. Setiap hari ratusan warga berusaha di lokasi Jam Gadang. Ada yang menjadi fotografer amatiran, ada yang berjualan balon, bahkan mencari muatan oto (kendaraan umum) untuk dibawa ke lokasi wisata lainnya di Bukittinggi.
Saat dibangun biaya seluruhnya mencapai 3.000 Gulden dengan penyesuaian dan renovasi dari waktu ke waktu. Setiap hari ratusan warga berusaha di lokasi Jam Gadang. Ada yang menjadi fotografer amatiran, ada yang berjualan balon, bahkan mencari muatan oto (kendaraan umum) untuk dibawa ke lokasi wisata lainnya di Bukittinggi.
“Jam Gadang ini selalu membawa berkah buat kami yang tiap hari bekerja sebagai tukang foto dan penjual balon di sini. Itu sebabnya jam ini menjadi jam kebesaran warga Minang,” ujar Afrizal, salah seorang tukang potret amatir di sekitar Jam Gadang.
Untuk mencapai lokasi ini, para
wisatawan dapat menggunakan jalur darat. Dari kota Padang ke
Bukittinggi, perjalanan dapat ditempuh selama lebih kurang 2 jam
perjalanan menggunakan angkutan umum. Setelah sampai di kota
Bukittinggi, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menggunakan angkutan
kota ke lokasi Jam Gadang.
Lebih Jauh Tentang Jam Gadang
Angka-angka pada Jam Gadang banyak media
mengatakan memiliki keunikan. Angka empat pada angka Romawi biasanya
tertulis dengan IV, namun di Jam Gadang tertera dengan IIII.
Sepintas, mungkin tidak ada keanehan
pada bangunan jam setinggi 26 meter tersebut. Apalagi jika diperhatikan
bentuknya, karena Jam Gadang hanya berwujud bulat dengan diameter 80
sentimeter, di topang basement dasar seukuran 13 x 4 meter, ibarat
sebuah tugu atau monumen. Oleh karena ukuran jam yang lain dari
kebiasaan ini, maka sangat cocok dengan sebutan Jam Gadang yang berarti
jam besar.
Bahkan tidak ada hal yang aneh ketika
melihat angka Romawi di Jam Gadang. Tapi coba lebih teliti lagi pada
angka Romawi keempat. Terlihat ada sesuatu yang tampaknya menyimpang
dari pakem. Mestinya, menulis angka Romawi empat dengan simbol IV. Tapi
di Jam Gadang malah dibuat menjadi angka satu yang berjajar empat buah
(IIII). Penulisan yang diluar patron angka romawi tersebut hingga saat
ini masih diliputi misteri.
Tapi uniknya, keganjilan pada penulisan
angka tersebut malah membuat Jam Gadang menjadi lebih “menantang” dan
menggugah tanda tanya setiap orang yang (kebetulan) mengetahuinya dan
memperhatikannya. Bahkan uniknya lagi, kadang muncul pertanyaan apakah
ini sebuah patron lama dan kuno atau kesalahan serta atau atau yang
lainnya.
Dari beragam informasi ditengah
masyarakat, angka empat aneh tersebut ada yang mengartikan sebagai
penunjuk jumlah korban yang menjadi tumbal ketika pembangunan. Atau ada
pula yang mengartikan, empat orang tukang pekerja bangunan pembuatan Jam
Gadang meninggal setelah jam tersebut selesai.
Jika dikaji apabila terdapat kesalahan
membuat angka IV, tentu masih ada kemungkinan dari deretan daftar
misteri. Tapi setidaknya hal ini tampaknya perlu dikesampingkan.
Namun yang patut diketahui lagi, mesin
Jam Gadang diyakini juga hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja
yang saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara
manual tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal)
diberi nama Brixlion.
Jam Gadang ini peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika
Angka IIII bukanlah sebuah keanehan
Keberadaan angka IIII bukan hanya terdapat di Jam Gadang saja, berikut gambar jam yang memiliki angka IIII bukan IV.
Berdasarkan Wikipedia, sejarah penulisan angka IIII tersebut
berdasarkan kepada King Louis XIV (5 September 1638 – 1 September 1715)
yang meminta kepada seorang untuk membuat sebuah jam baginya. Pembuat
jam memberi nomor pada setiap jam sesuai dengan aturan angka Romawi.
Setelah melihat jam yang diberikan kepadanya, Raja tidak setuju dengan
penulisan IV sebagai angka “4” dengan alasan ketidakseimbangan visual.
Menurutnya, angka VIII ada di seberang
angka IV. Jika ditulis IV, maka ada ketidakseimbangan secara visual
dengan VIII yang lebih berat. Oleh karena itu, Louis XIV meminta agar
diubah IV menjadi IIII sehingga lebih seimbang dengan VIII yang ada di
seberangnya. Selain itu, jika dikaitkan dengan angka XII, maka
keseimbangan itu akan lebih baik.
Akan tetap yang menjadi pertanyaannya
mengapa Raja yang memerintahkan perubahan itu lebih dikenal dengan Louis
XIV daripada Louis XIIII, sesuai dengan permintaannya kepada pembuat
jam.
Dari sebuah situs yang berjudulkan “FAQ: Roman IIII vs. IV on Clock Dials” dapat dilihat
disana, Seorang yang bernama Milham mengatakan bahwa penjelasan seperti
di atas tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, penulisan IIII untuk angka
“4” telah ada jauh sebelum Louis XIV. Dari wikipedia bahwa penomoran
Romawi memang bervariasi dari awalnya. Pada masa awal angka “4” memang
ditulis IIII dengan empat huruf I.
Penulisan “4” menjadi IV hanya terjadi
di masa modern, yang menunjukkan bahwa “empat adalah kurang satu dari
lima”. Manuskrip Forme of Cury (1390) menggunakan IX untuk “9” namun
IIII untuk “4”. Sedangkan dokumen lain dari manuskrip yang sama di tahun
1380 menggunakan IX dan IV untuk “9” dan “4”, berturut-turut.
Lebih lanjut, ada manuskrip ketiga yang
menggunakan IX untuk “9” dan campuran antara IIII dan IV untuk “4”.
Angka “5” juga ditemukan disimbolkan dengan IIIII, IIX untuk “8” dan VV,
bukannya X, untuk “10”.
Kesaksian lain dari situs tersebut,
Franks, menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat jam matahari yang
dibuat sebelum abad ke-19 yang menggunakan angka IV, semuanya IIII.
Sehingga, para ahli jam heran dengan arsitek masa ini yang membuat jam
menara besar-besar menulis “4” dengan IV, bukan IIII. Salah satu yang
menggunakan IV, bukan IIII, adalah Big Ben. Jadi, implisit dikatakan
bahwa Big Ben telah melanggar konvensi per-jam-an!
Penjelasan lain cukup menarik. Harvey,
di situs yang sama, mengatakan bahwa IV adalah singkatan dari dewa
Romawi, Jupiter, yang ditulis IVPPITER. Jadi, jika IV diletakkan di
dalam jam bangsa Romawi, maka jam itu akan bertuliskan 1, 2, 3, DEWA, 5…
Jika dilihat dari kacamata bangsa
Romawi, mungkin mereka tidak ingin nama tuhan mereka ditaruh di jam
seperti itu. Namun, kalau dilihat dari kacamata Louis XIV , maka mungkin
ia tidak ingin ada nama dewa pagan di permukaan jam. Mana yang benar ?
kita tidak tahu.
Masih di situs yang sama, menurut
Mialki, alasan penggunaan IIII bukan IV semata-mata masalah teknis. Jika
IV yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf I sebanyak 16
batang, huruf X sebanyak 4 batang, dan V sebanyak 5 batang. Masalahnya,
pada masa itu, pandai besi hanya bisa ekonomis kalau membuat besi dalam
kelipatan empat. Jika ditulis IV untuk “4”, maka akan ada satu 3 batang
huruf V yang terbuang. Sementara itu, jika “4” ditulis IIII, maka huruf
V hanya dibuat empat batang–dengan demikian ekonomis–dan huruf I
sebanyak 20 batang–juga ekonomis.
Sekali lagi, mana yang benar dari
penjelasan ini ? Belum ada yang pasti. Namun, satu yang kita tahu
sekarang adalah bahwa angka IIII di Jam Gadang bukanlah sesuatu yang
unik, aneh atau dianggap sebagai misteri yang dikait-kaitkan dengan
takhayul. Justru dengan angka IIII itulah menjadikan sebuah bukti bahwa
bangsa Eropa (Belanda) memang menjajah kita dulu dan tidak memberi kita
barang yang jelek, justru yang bagus yang masih dipergunakan dan
dibanggakan hingga sekarang.
@didikpare
Pondok Pesantren Al Aksi
Pondok Pesantren Al Aksi
Berupaya Menyiapkan Generasi Muda untuk mampu berdakwah dengan cara dan gaya masa kini, berdiri tahun 2013 yang mengkhususkan diri untuk mendidik santri2 pilihan yang berasal dari seluruh pelosok negeri melalui jalur seleksi yang dilakukan setiap tahun diberbagai tempat.
Langganan:
Postingan (Atom)